Film Terlaris Angga Sasongko Yaitu ‘NKCTHI’

Film Terlaris Angga Sasongko Yaitu ‘NKCTHI’ – ‘Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini’ (NKCTHI) menjadi film nasional paling hits sepanjang akhir pekan lalu, ditonton dan tak henti-hentinya dibicarakan khalayak ramai hingga hari ini. Tak kurang dari 445.000 pasang mata, selepas tiga hari tayang sejak Kamis lalu, telah menyaksikan karya Angga Dwimas Sasongko, sang sutradara, sebagai film terbaiknya sejauh ini.

Lantas hashtag #NKCTHIcanrelate menjadi trending di Twitter, membuka wacana tentang betapa begitu banyak penonton yang menganggap tawaran kisah NKCTHI mewakili perjalanan hidup mereka. slot online

Film Terlaris Angga Sasongko 'NKCTHI'

Bagaimana tidak, setiap dari kita tentulah seorang anak sulung seperti Angkasa (Rio Dewanto, ‘Filosofi Kopi’, ‘Bulan di Atas Kuburan’), atau anak tengah seperti Aurora (Sheila Dara, ‘Eggnoid’, ‘Bridezilla’) atau anak bontot seperti Awan (Rachel Amanda, ‘Dua Garis Biru’, ‘Terlalu Tampan’) di keluarga kita masing-masing. Dan, pada satu, dua, atau lebih kesempatan kita pun pasti sempat berselisih dengan anggota keluarga kita yang lain. Mungkin cuma golongan anak semata wayang, yang bakal kesulitan relate terhadap film adaptasi dari buku best seller flash fiction berjudul sama karya Marchella FP ini. slot online

Syahdan sewaktu kecil Awan si anak bontot, sempat tertabrak motor sepulang sekolah, ketika kedua kakaknya, Angkasa dan Aurora lengah mengawasinya. Ayah (Oka Antara, ‘Foxtrot Six’, ‘Aruna dan Lidahnya’) marah kepada Angkasa dan berpesan agar selalu menjaga kedua adiknya sebaik-baiknya. Tugas Ayah dan Ibu hanya memproduksi kalian untuk terlahir ke dunia ini, tugasmu lah sebagai kakak untuk menjaga adik-adikmu! Mungkin begitu pesan tersirat di kepala Ayah, yang tak pernah tercetus, manakala ia memelototi Angkasa yang tengah menangis, dirundung rasa bersalah yang tak semestinya ia pikul sendiri. https://www.americannamedaycalendar.com/

Film Terlaris Angga Sasongko 'NKCTHI'

Sampai Awan dewasa, Ayah masih meminta Angkasa untuk menjaganya, seperti dengan teratur menjemputnya pulang setiap jam kantor usai. Hingga Awan kecelakaan lagi. Tetapi, keadaan kini tak seperti dulu. Angkasa tak menangisi kemalangan yang menimpa adiknya itu, tetapi sikap Ayah (kemudian diperankan Donny Damara, ‘Lovely Man’, ‘Mari Lari’) masih sama seperti dulu. “Kalau Ayah bilang jemput Awan di kantor, jemput dia di kantor! Bukan di tengah jalan!” hardik Ayah kepada Angkasa yang bersikap enggan untuk disalahkan.

Di permukaan persoalan menjaga Awan seprotektif itu memang terkesan sepele dan terlalu dibesar-besarkan for the sake of conflict per se. Tetapi rupanya trio penulis naskah Jenny Jusuf (‘Mantan Manten’, ‘Ngenest’), Angga Dwimas Sasongko (‘Filosofi Kopi the Movie 2’, ‘Cahaya dari Timur’), dan Melarissa Sjarif sudah menyiapkan segala pembenaran untuk itu yang disimpan rapat-rapat hingga paruh akhir babak kedua. Dan terus terang saja, saya tak menyangka twist-nya demikian. Padahal dari awal film bermula, sudah banyak petunjuk yang diperlihatkan sebagai planting atas pay off yang tak terduga itu.

Pengarahan Angga sebagai sutradara luar biasa, terutama dalam mengarahkan pemain dan bagaimana menata adegan-adegan dari masa lalu dan masa kini saling berkelindan, menjaga cerita terus bergerak sambil tetap menutupi misteri serapat mungkin agar ketika ia terbuka, kita terkejut dan terkesima.

Tetapi, saya tak suka hasil kerja penata artistik film ini, entahlah, bagi saya penataan properti — atau apa pun itu yang bakal tertangkap kamera baik di latar depan atau belakang, semestinya bukan soal menciptakan dekorasi ruangan sekece-kecenya, tetapi bagaimana dekorasi itu dapat tampil lumrah seperti yang biasa kita jumpai di rumah kita masing-masing. Sedikit berantakan bakal memberi kesan nyata itu. Apalagi di rumah sebesar itu, tak pernah terlihat ada ART atau Ibu sedang beres-beres rumah. Adrianto Sinaga, alih-alih bertindak sebagai desainer produksi, ia seolah sedang bekerja sebagai desainer interior yang sedang ikut pameran property expo di JCC.

Dan, durasi 120 menit adalah waktu yang terlalu panjang bagi film drama keluarga yang sebetulnya konfliknya tidak rumit-rumit amat ini. Saya biasanya tak memiliki masalah dengan lamanya durasi film, asal film tersebut memiliki beat yang enak, urutan adegan ke adegan yang mengalir lancar dalam hal menjaga pace agar konsisten asik diikuti, ada turun ada naik yang dirancang sedemikian rupa. Film ini bermasalah dalam pengaturan beat-nya, dan terutama bangunan para karakternya.

Awan adalah hero atau protagonis kita di film ini, maka kita menyaksikan film ini lewat sudut pandangnya. Tetapi, bagaimana babak pengenalannya bermula? Siapa ia di awal dan siapa ia di akhir kisah adalah pertanyaan yang mesti dielaborasi sejak naskah skenario ini masih dalam pikiran para penulisnya.

Di awal kita tak tahu persoalan yang Awan hadapi, bahkan saya sempat mengira justru karakter Ayah adalah jagoan kita, sebab ia mendapatkan treatment yang semestinya berlaku bagi protagonis utama, yakni ia diberikan bahan-bahan pengundang kesimpatikan, seperti misalnya penggambaran akan dirinya sebagai orang tua dan suami yang berusaha sekuatnya untuk menjadi yang terbaik; mampu memberi nasehat-nasehat yang baik kepada anak-anaknya, jago masak, dan ketika istrinya sedang terpuruk hingga tak mampu beranjak, ia di sana memberi dukungan terbaiknya. Ketika ia mendekati istrinya yang sedang terisak di bawah kucuran shower, dan ia peluk tanpa berucap sepatah kata pun, simpati saya untuknya sudah tak tertawar lagi.

Lantas menjadi rancu, untuk tak menyebutnya inkonsisten, jika kemudian Ayah dicitrakan sebagai figur kolot, pengekang kebebasan anak-anaknya, dan jika sifat-sifat buruk ini yang ingin diperlihatkan pembuat film kepada kita, mengapa ia juga digambarkan sebagai figur yang humoris dan hangat? Ingat adegan candle light dinner di rumah Ibu ketika mereka masih pacaran? Rasanya karakter Ayah yang dimainkan Oka dan Donny jadi terlihat seperti dua karakter yang berbeda.

Kembali kepada Awan, si tokoh utama kita. Menjelang akhir babak pertama ia berkenalan dengan Kale, sang katalis film ini. Sejak bergaul dengan Kale, Awan jadi lebih sulit untuk dikontrol baik oleh Angkasa juga oleh Ayah. Lantas konflik demi konflik seputar bagaimana membuat Awan agar tidak pulang malam semakin meruncing, puncaknya adalah terkuaknya rahasia besar yang selama ini disimpan rapat-rapat oleh Ayah dan Ibu. Semua bermula karena Awan bertemu dengan sang katalis.

Tetapi, sebagai protagonis, Awan tak di-treatment selaiknya karakter utama mesti ditulis. Ia tak pernah mengundang simpati sejak awal. Tak pernah ada set up misalnya, pada babak pengenalan, Awan dikisahkan sedang berbuat baik, seperti Ayah dikisahkan jago masak, jago merayu Ibu, apa pun itu, sebuah usaha kecil yang mampu menarik rasa simpati kita terhadapnya.

Tahu film ‘Aladdin’ kan? Yang animasi dan versi buat ulangnya sama saja. Nah, bagaimana kita bisa bersimpati kepada karakter Aladdin si pemuda pemalas, pencuri pula? Nah, di awal film ada adegan kecil yang memperlihatkan Aladdin mencuri buah, lantas ia dikejar-kejar orang yang berusaha menangkapnya. Ketika sedang sembunyi, ia melihat seorang anak kecil tengah kelaparan. Buah yang dicurinya ia berikan kepada si anak tersebut. Itulah yang saya maksud dengan pembangun rasa simpatik.